Rabu, 26 September 2012
Al Habib Husein bin Abubakar Alayadrus
Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin. Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India. Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.
Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang. Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu. Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa. Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam.
Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan. Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok. Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya,
berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.
1. Menjadi mesin pemintal Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya. Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang. Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”
2. Menyuburkan Kota Gujarat Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera. Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana. Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam. Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.
3. Mengislamkan tawanan Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda. Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa. Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.” Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.
4. Menjadi Imam di Penjara Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.” Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain. Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci. Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.
5. Si Sinyo menjadi Gubernur Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya. Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini. Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.
6. Cara Berkirim Uang Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein. Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman. Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein. Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.
7. Kampung Luar Batang Makam+Luar+Batang Al Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus (Habib Keramat Luar Batang)Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir. Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang. Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula. Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.” Lanjutkan....“Al Habib Husein bin Abubakar Alayadrus” »»
Biografi Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki
Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan.Selama menjalankan tugas da’wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya. Sebagaimana adat para Sadah dan Asyraf ahli Makkah, Sayyid Alwi Almaliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, serban (imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan Asyraf Makkah. Setelah wafat Sayyid Alwi Almaiki, anaknya Sayyid Muhammad tampil sebagai penerus ayahnya. Dan sebelumnya ia selalu mendapatkan sedikit kesulitan karena ia merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah ia melanjutkan studi dan ta’limnya terlebih dahulu.
Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihanya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidi Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil menggarap untuk membuka majlis ta’lim dan pondok di rumah beliau. Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjid haram atau di rumah beliau tidak berpoin kepada ilmu tertentu seperti di Universitas. Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Maliki.
Maka dari itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama. Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di mana negara saja kita dapatkan murid beliau, di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dahwah sayid Muhammad Almaliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit dari murid2 beliau yang masuk ke dalam pemerintahan. Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari pula beliau telah berusaha mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari seluruh penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku.
Setelah beberapa tahun belajar para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama. Sayid Muhammad Almaliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah.thariqahnya. Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan menklirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang jitu bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan. Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta’lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak bersependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar.
Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan marja’ dan reference di negara-negara mereka. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengannya Karya Tulis Beliau Di samping tugas beliau sebagai da’i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab2 beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll. Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia.
Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang: Aqidah:
1. Mafahim Yajib an Tusahhah
2. Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
3. At-Tahzir min at-Takfir
4. Huwa Allah
5. Qul Hazihi Sabeeli
6. Sharh ‘Aqidat al-‘Awam
Tafsir:
1. Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
2. Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
3. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
4. Hawl Khasa’is al-Quran
Hadith:
1. Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
2. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
3. Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
4. Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik
Sirah:
1. Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
2. Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
3. ‘Urf al-Ta’rif bi al-Mawlid al-Sharif
4. Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
5. Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
6. Zikriyat wa Munasabat
7. Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra
Usul:
1. Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
2. Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
3. Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah
Fiqh:
1. Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
2. Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
3. Abwab al-Faraj
4. Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
5. Al-Husun al-Mani‘ah
6. Mukhtasar Shawariq al-Anwar
Lain-lain:
1. Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
2. Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
3. Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
4. Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
5. Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
6. Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
7. Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
8. Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
9. Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
10. Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
11. Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
12. Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
13. Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas) 14. Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
15. Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah) 16. Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah) Catatan diatas adalah kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan.
Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.Kita juga tidak menyebutkan berapa banyak karya tulis yang telah dikaji, dan diterbitkan untuk pertama kali, dengan ta'liq (catatan kaki) dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka. Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf. Pada akhir hayatnya yang berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syeikh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti “Hiwar Fikri” di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 Dhul Q’idah 1424 H dengan judul “Al-qhuluw wal I’tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah”, di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul “Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama”. Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da’wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas. Pada tanggal 11/11/1424, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da’wah.
Beliau wafat hari jumat tanggal 15 ramadhan 1425 dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping kuburan istri Rasulullah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri. Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba’da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza’. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat. Semoga kita bisa meneladani beliau. Amien. Lanjutkan....“Biografi Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki” »»
Habib Ali bin Muhammad Al Habsy Seiwun
Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shohibusy Syi’ib bin Muhammad Ashgor bin Alwi bin Abu Bakar Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan At-Turabiy bin Ali bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Beliau lahir di desa Qosam padahari jum’at, 24 syawal 1259 H / 1839 M; dan diberi nama Ali oleh Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir untuk mengambil berkah dari Sayyidina Ali Kholi’ Qosam. Ibunda beliau, Sayyidah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri (lahir tahun 1240 H), berasal dari kota Syibam, adalah seorang yang sangat gemar mengajar dan berdakwah, yang memiliki banyak karomah. Ayahanda beliau, Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi ( lahir, 18 jumadil akhir 1213 H) seorang ahli dakwah, memiliki karomah dan seringkali mengkasyf isi hati Habib Ali. Habib Muhammad berguru kepada Habib Tohir bin Husein bin Tohir, Habib Abdullah bin Husein bin Tohir, Habib Ahmad bin Umar bin Smith, Habib Hasan bin Saleh Al Bahr Al Jufri, Habib Abdullah bin Ali bin Syihabuddin, Syeikh Mufti Makkah Muhammad Saleh Rayyis, Syeikh Umar bin Abdurrasul Al-Atthar, Sayyid Al-Imam Al-Badi Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal dan Syeikh Al-Waliy Manshur bin Yusuf Al Budairi. Nasehat Habib Muhammad Al Habsyi : “Camkanlah, jangan sampai kalian tidak mempelajari ilmu bahasa, Nahwu dan shorof. Karena ilmu bahasa merupakan dasar dan perantara kalian untuk memahami semua ilmu.” Hijrah ke Seiyun dan Mekah. Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, ayahandanya hijrah ke Mekah bersama tiga anaknya yang telah dewasa; Abdullah, Ahmad dan Husein. Suatu hijrah yang abadi ke Mekah, demi mematuhi keinginan Syeikh Fath beliau, Al-Allamah Sayyid Abdullah bib Husein bin Tohir. Ketika Habib Ali berumur 11 tahun, beliau bersama ibundanya pindah ke Seiwun, supaya beliau dapat memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu lainnya, sesuai perintah Sayyid Umar bi Hasan bin Abdullah Al Haddad. Dalam perjalanan ke Seiwun; beliau melewati Masileh dan singgah di rumah Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir. Beliau menggunakan kesempatan itu, untuk menelaah kitab, mengambil ijazah dan ilbas. Di antara hafalan beliau adalah kitab Al-Irsyad, Alfiyah Ibnu Malik dan lainnya. Pada usia 17 tahun, beliau diminta ayahandanya pergi ke Mekah dan tinggal bersama ayahnya selama 2 tahun yang penuh berkah. Setelah itu, beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang Alim dan ahli dalam pendidikan. Beliau kembali atas perintah ayahandanya untuk menikahkan adik beliau, Aminah, dengan Sayyid Alwi bin Ahmad Assegaf, salah seorang murid ayahanya. Kegiatan Habib Ali di Seiwun Setelah merayakan pernikahan adiknya, Habib Ali lalu tinggal di Seiwun untuk belajar dan mengajar. Banyak pendduduk Seiwun menuntut ilmu kepadanya. Beliau juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari orang-orang alim disana. Beliau berguru kepada : 1. Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad. 2. Syeikh Muhammad bin Ibrahim. 3. Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad. 4. Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur. 5. Habib Ali bin Idrus bin Syihabuddin. 6. Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab. 7. Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar ( Imam Para Sadah yang mulia ). 8. Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar. 9. Imam Idrus bin Umar bin Idrus Al-Habsyi. 10. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas ( Syeikh beliau ). Hubungan Habib Ali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas. Ketika Habib Ali bertemu pertama kali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas, terlihat tubuhnya diliputi cahaya, “Lelaki ini malaikat atau manusia” kata Habib Ali dalam hati.. Suatu hari beliau tidak bisa lagi membendung rasa rindunya kepada gurunya, Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas; kemudian beliau pergi ke Ghurfah. Saat itu Habib Abu Bakar sedang bertamu di rumah salah seorang kenalannya. “Tambahlah hidangan siang untuk Ali bin Muhammad Al Habsyi. Sebentar lagi ia datang kemari. Ia tidak mampu berpisah terlalu dariku.” Kata Habib Abu Bakar kepada tuan rumah. Sesampainya Habib Ali di rumah itu, si tuan rumah memberitahu bahwa Habib Abu Bakar telah mengkasyaf kedatangannya. Makam Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Beliau adalah guru utama Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Muallif Simtud Duror. Beliau juga merupakan mertua dari Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas. Beliau sangat mastur hingga keluarganya sendiri tidak mengetahui kebesarannya. Habib Ali berkata : “Ucapan kaum Sholihin cukup sebagai pengganti makanan selama sebulan. Jika mendengar Habib Abu Bakar berceramah, rasanya aku tidak tidak membutuhkan makanan lagi. Seandainya beliau menyampaikan ilmunya selama sebulan, maka aku akan menjadikan ucapannya sebagai santapanku. Bukankah tujuan memberi kakan jasad adalah ruh, padahal ucapan beliau ini adalah santapan ruh langsung.” “Alangkah baiknya membicarakan ilmu dengan seorang yang ahli dan mampu menerangkannya dengann baik. Habib Abu Bakar jika menerangkan suatu ilmu kepada kami, dari kedua bibirnya meluncur ilmu-ilmu yang segera melekat di hati kami; seperti air dingin bagi orang yang sedang kehausan. Jika duduk bersama beliau, aku selaliuberharap agar majelis itu tidak akan berakhir, walau selama sebulan. Saat itu, rasanya aku tidak menginginkan lagi kenikmatan duniawi, aku tidak merasa lapar atau haus. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas pernah berkata kepada Habib Ali : • ”Tidak mencintaiku kecuali orang yang berbahagia (sai’id). Tidak mencintaiku kecuali seorang yang saleh.”Aku, para sahabatku dan orang-orang yang mencintaiku kelak di hari kiamat berada dalam naungan Arsy.” • “Wahai anakku, ketahilah, aku mengetahui semua wali yang ada di timur dan di barat. Aku belajar kepada mereka semua. Kadang kala aku memberitahu seseorang bahwa dia adalah seorang wali karena dia sendiri tidak menyadarinya,” • “Ya, Ali. Sesungguhnya aku telah memeliharamu sejak kau berada dalam sulbi ayahmu.” • “Wahai anakku. Ketahuilah aku mewarisi semua hal keluargaku, dan aku melebihi mereka dengan pemahamanku tentang kitabulloh yang tudak dimiliki oleh satupun dari keluargaku.” • “Aku berniat mensyarahkan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Dan aku akan memulainya dari bab keajaiban-keajaiban hati, sebab Syeikh Ghazali tidak membahas semuanya, beliau hanya menjelaskan secara garis besar. Namun kemudian, aku ingat bahwa tidak ada seorang salaf pun yang melakukannya.” Wafatnya Ayahanda beliau. Habib Muhammad sesungguhnya sedih melihat Habib Ali lebih senang tinggal di Hadramaut. Ketika Habib Abu Bakar bin Abdullah Al Attas berada di Mekah; Habib Muhammad mengadukan hal ini. Habib Abu Bakar kemudian memberinya kabar gembira bahwa kelak di Hadramaut, Habib Ali akan memperoleh Ahwal yang besar dan manfaat yang banyak. Baru setelah itu, tenanglah hati Habib Muhammad, dan Allah pun mewujudkan apa yang diucapkan Habib Abu Bakar Al Attas. Ketika Habib Ali berusia 22 tahun, ayahandanya, Habib Muhammad meninggal dunia di Mekah. Habib Muhammad memegang jabatan Mufti Syafiiyah Di Mekah; setelah wafatnya Syeikh Al-Allamah Ahmad Dimyati tahun 1270 H. jabatan ini dipegangnya hingga beliau wafat Pada hari rabu 21 Dzulhijah 1281 H. beliau dimakamkan di Ma’laa di Huthoh saadah Aal Baa Alawiy. Sedangkan ibunda Habib Ali, Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri wafat pada tanggal 6 Rabiuts tsani 1309 H Putra –putri Habib Ali Dari perkawinannya dengan wanita Qosam, satu anak, Abdullah. Dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti Muhammad bin Segaf Maulakhela, 4 anak ( Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khodijah ). Ribath Habib Ali Ketika berusia 37 tahun, beliau membangun Ribath ( pondok pesantren ) yang pertama di Hadramaut, di kota Seiwun untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath menyerupai mesjid dan terletak di sebelah timur halaman masjid Abdul Malik. Biaya orang-orang yang tinggal di Ribath beliau tanggung sendiri. Habib Ali berkata : ”Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan Ribath ini menyimpan rahasia (sir) yang besar. Ribath ini mrnyadarkan mereka yang lalai dan membangunkan mereka yang tertidur. Berapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, berapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath ini merubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim. Pembangunan Masjid Riyadh Ketika berusia 44 tahun, beliau membangun Masjid Riyadh, pada tahun 1303 H. Pada bulan syawal 1305 H, Habib Ali menggubah sebuah syair tentang Masjid Riyadh : “Inilah Riyadh, ini pula sungai-sungainya yang mengalir Yang memakmurkan mereguk segar airnya Yang bermukim tercapai tujuannya Yang berkunjung terkabul keinginannya Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih Maka tampaklah hasilnya” Habib Ali berkata : “Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW” Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi berkata : “Berkata penggubah syair, lembah kebaikan telah penuh Siapa ingin hajatnya terkabul beri’tikaflah di sekitar Riyadh” Simtud Duror Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid Simtud Duror ; pada hari kamis 26 safar 1327 H, beliau mendiktekan paragraph awal kitab mauled tersebut. Pada hari kamis 10 Rabiul Awal 1327 H, beliau menyempurnakannya dan pada malam sabtu 12 Rabiul Awal 1327 H, beliau membaca Simtud Duror di rumah muridnya, Sayyid Umar bin Hamid As segaf. Maulid Simtud Duror yang agung ini, mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadramaut, Haramain, Indonesia, Afrika, Dhofar dan Yaman. Habib Ali berkata : • ”Tanggal 27 sya’ban 1327 H, Sayyid Hamid bin Alwi Al Bar akan pergi ke Madinah Al Munawwaroh membawa satu naskah maulid Simtud Duror yang akan dibacanya di hadapan Nabi SAW. Dan Nabi SAW akan merasa sangat senang.” • “Maulidku ini tersebar di tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah SWT dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.” • Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) Nabi SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah SWT membukakan padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Wafatnya Habib Ali Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah Isthilam; yang berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu dzuhur, hari minggu, 20 Rabiuts tsani 1333 H / 1913 M, beliau wafat. Jenazah beliau dimakamkan disebelah barat Masjid Riyadh. Makam Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi. Habib Ahmad bin Hasan Al Attas berkata : ”Apakah Ali banyak melakukan shalat sunah? Apakah dia tidak tidur di malam hari? Apakah dia mengerjakan sekian ribu dzikir secara tetap? Tidak! Namun beliau sangat mencintai Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka menarik Habib Ali, sehingga tanpa disadarinya, ia telah bersama mereka dan mereka berkata kepadanya, “berbicaralah dengan lisan kami”. Kholifah Habib Ali dalam wasiatnya, habib Ali menunjuk Habib Muhammad sebagai kholifahnya. Mengenai Habib Muhammad ini, Habib Ali berkata : “Kalian jangan mengkhawatirkan anakku Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah dzohir dan batin. Semoga Allah SWT menjadikan dia dan saudara-saudaranya penyejuk hati, semoga mereka dapat memakmurkan Ribath dan Masjid Riyadh dengan ilmu dan amal, semoga Allah menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan semoga Allah SWT memberi mereka keturunan yang saleh, serta menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan teman-teman yang buruk.” Habib Alwi bin Ali Al Habsyi membangun Masjid Riyadh di Solo tahun 1255 H. Beliau menyelenggarakan kegiatan ibadah dan taklim yang biasa diamalkan oleh ayahnya. Mengenai Habib Alwi ini, ayahnya ( Habib Ali ) pernah berkata dalam salah satu syairnya : Ya Tuhan, dengan kebesaran Al Musthofa berilah Alwi Fath, Dan berilah ia madad dari segala penjuru Begitu pula semua saudara dan semua yang bersamanya Dan penuhilah kedua tangannya dengan karunia-karunia-Mu Dan jadikanlah dalam ilmu ia sebagai rujukan ahli zamannya Murid-murid Habib Ali 1. Anak-anak beliau ( Habib Abdullah, Habib Muhammad, Habib Ahmad dan Habib Alwi ) 2. Adik beliau ( Habib Syeikh bin Muhammad Al Habsyi ) dan kemenakan beliau ( Sayyid Ahmad bin Syekh Al Habsyi ) 3. Sayyid Jakfar dan Abdul Qadir bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf. 4. Sayyid Muhammad bin Hadi bin Hasan Assegaf. 5. Sayyid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Assegaf 6. Sayyid Salim bin Shofi bin Syeikh Assegaf 7. Sayyid Ali binAbdul Qadir bin Salim bin Alwi Al Aydrus 8. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Zen Al Habsyi 9. Sayyid Muhammad bin Salim bin Alwi As Siri 10. Sayyid Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Masyhur 11. Sayyid Hasan bin Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih 12. Sayyid Ali binAbdurrahman bin Muhammad Al Masyhur 13. Sayyid Umar dan Sayyid Abdullah bin Idrus bin Alwi Al Aydrus 14. Sayyid Abdullah bin Ali bin Syihabuddin 15. Sayyid Abdullah bin Umar Asy Syathri 16. Syeikh Ahmad bin Abdullah bin Abu Bakar Al Khotib 17. Sayyid Muhammad bin Idrus bin Umar Al Habsyi 18. Sayyid Umar bin Abdullah bin Muhammad Al Habsyi 19. Sayyid Umar bin Abdurrahman Al Aydrus Shohib Hazm 20. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Hasan Al Attas 21. Sayyid Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah Al Atthas 22. Sayyid Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al Bar 23. Sayyid Hamid bin Alwi bin Abdullah Al Bar 24. Sayyid Muhammad dan Sayyid Musthofa bin Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al Muhdhor 25. Sayyid Muhammad dan Sayyid Umar bin Tohir bin Umar Al Haddad Murid-murid beliau yang mencapai derajat Alim dalam ilmu Fiqih dan lainnya, selain yang menetap di Ribath antara lain : 1. Sayyid Toha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf 2. Sayyid Umar bin Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf 3. Syeikh Hasan, Ahmad dan Muhammad Baraja. Orang-orang yang bersama beliau sepanjang hidup beliau dan seperti murid beliau adalah : 1. Sayyid Abdillah bin Ahmad bin Toha binAlwi Assegaf 2. Sayyid Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Segaf Assegaf 3. Syeikh Ahmad bin Ali Makarim 4. Syeikh Ahmad bin Umar Hassan 5. Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Zein bin Hadi bin Ahmad Basalamah 6. Syeikh Ubaid bin Awudh Ba Fali Wasiat dan Nasihat Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi • Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah swt, wujudkanlah kebenaran janji-Nya, dan rasakanlah kebesaran rahmat-Nya. Cukuplah bagi kita firman Allah swt, seperti disabdakan Rasulullah saw, “Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka berprasangkalah kepada-Ku sesukamu.” • Jika seorang hamba memedulikan penyakit hati seperti penyakit badan, niscaya mereka akan mendapatkan tabib di hadapan mereka. Tetapi, sedikit sekali yang membahas masalah ini, karena mereka telah dikuasai nafsu dan akal.” • Jika tak ada ketamakan, dan tak ada satu mahluk pun keluar dari lingkaran jejak nabi saw, tidak akan ada manusia mengejar dunia yang fana ini atau berpaling dari kebahagiaan akhirat yang kekal.” • Tak ada derajat yang lebih tinggi daripada prasangka baik. Karena di dalam prasangka baik terdapat keselamatan dan keberuntungan. Didalam keluasan rahmat Allah swt sirnalah amalmu seperti amal setiap mahluk. Di dalam rahasia Allah swt swt, yang dititipkan pada mahluk-Nya, terdapat sesuatu yang mengharuskan untuk berkeyakinan bahwa semua mahluk adalah Aulia. • Keteguhan yang sempurna berbeda-beda. Keteguhan dalam perkataan berbeda dengan keteguhan dalam perbuatan. Keteguhan perbuatan berbeda dengan keteguhan dalam beramal. Keteguhan dalam beramal berbeda dengan keteguhan dalam mencari. Keteguhan dalam mencari berbeda dengan keteguhan dalam apa yang dicari. Sedangkan hakikatnya, secara utuh dan merupakan kedudukan yang terakhir, adalah tidak memalingkan pandangan dari Allah swt sekedip mata pun, bahkan yang lebih cepat dari itu. • Janganlah kau putuskan kehadiranmu di tempat-tempat yang baik karena alas an kesibukan dunia. Hati-hatilah, karena itu merupakan tipu daya setan. Hadirkanlah Allah swt ketika sendirian. Sembahlah Dia, seakan melihatnya; dan jika tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu. • Tutuplah mata dari perhiasan dunia dan segala kenikmatan fana yang dimiliki budak-budaknya serta kenikmatan yang akan terputus. Sesungguhnya semuanya seperti kau saksikan bahwa dunia ini cepat berpindah dan dekat kefanaannya. • Jadikanlah Al-Qur’an dan zikir kepada Allah swt bacaan sehari-harimu. Bertafakurlah terhadap nikmat Allah swt. Jika mungkin, setiap waktu hanya ada antara dirimu dan Allah swt, dan pada saat itu telitilah diri sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Telitilah dirimu, sebelum kalian diteliti.” Seseorang yang meneliti dirinya di dunia, perhitungan baginya akan lebih ringan di akherat kelak. • Orang yang lalai mengira bahwa dirinya mencapai kelezatan dunia tanpa mengetahui bahwa sebenarnya kemanisan dunia bercampur dengan kepahitannya. Sedangkan kehidupan indah yang sebenarnya adalah berpaling dari dunia, kemudian masuk ke hadirat yang Maha Kaya dengan sifat faqir, miskin, lalu memetik sesuatu yang indah dari tempat itu. • Kerjakanlah segala perintah Allah swt dan tinggalkanlah larangan-Nya. Jangan sampai Allah swt melihatmu melakukan apa yang dilarang-Nya, atau kehilangan-Mu pada perintahnya. Bangkitlah untuk memenuhi hak Allah swt. Bersemangatlah melakukan sesuatu yang membuat para salaf Mulia. • Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan qurb ( kedekatan ) kepada Allah swt, air telaga dari celah wishal ( persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan. • Yang selalu memperlambat terkabulnya doa’ seorang hamba adalah karena harapan yang rendah : mengharapkan sesuatu dari mahluk. Angkatlah pandanganmu secara keseluruhan kepada zat yang dibutuhkan semua mahluk….maka akan tampak tanda-tanda terkabulnya doa’. (Al-Kisah No.15/tahun III/18-31 juli 2005, al-Kisah No.11 / Tahun IV/ 22 Mei- 4 Juni 2006 dan Manaqib Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi; oleh Novel Muhammad Al-Aydrus)
Lanjutkan....“Habib Ali bin Muhammad Al Habsy Seiwun” »»Kamis, 13 September 2012
Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
Beliau dilahirkan sebelum fajar hari senin, 4 Muharram 1383 H / 27 Mei 1963M di Kota Tarim. Di kota yang penuh berkah inilah beliau tumbuh dan menerima didikan agama serta menghafal kitab suci al-Quran dalam keluarga yang terkenal iman, ilmu dan akhlak yang luhur. Guru pertamanya sudah tentu ayahanda beliau yaitu Habib Muhammad bin Salim yang juga merupakan Mufti Kota Tarim al-Ghanna itu. Selain ayahandanya, beliau juga menuntut ilmu dengan banyak ulama antaranya dengan al-Habib al-Munshib Ahmad bin ‘Ali bin asy-Syaikh Abu Bakar, al-Habib ‘Abdullah bin Syaikh al-’Aydrus, al-Muarrikh al-Bahhaatsah al-Habib ‘Abdullah bin Hasan BalFaqih, al-Muarrikh al-Lughawi al-Habib ‘Umar bin ‘Alwi al-Kaaf, asy-Syaikh al-Mufti Fadhal bin ‘Abdur Rahman BaFadhal, asy-Syaikh Tawfiq Aman dan kepada saudara kandungnya al-Habib ‘Ali al-Masyhur bin Muhammad bin Salim. Selain kepada para ulama Tarim, beliau juga menuntut ilmu dan ijazah kepada banyak lagi ulama di luar kota tersebut seperti di Kota Syihr, al-Baidha` dan juga al-Haramain. diantaranya beliau menuntut ilmu dan menerima ijazah kepada al-Habib Muhammad bin ‘Abdullah al-Hadhar, al-Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumaith, al-Habib al-Musnid Ibrahim bin ‘Umar bin ‘Aqil, al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf, al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha al-Haddad, al-Habib Abu Bakar al-Aththas bin ‘Abdullah al-Habsyi dan asy-Syaikh al-Musnid Muhammad Isa al-Fadani. Sekembalinya ke Kota Tarim, beliau mengasaskan Rubath Darul Musthofa pada tahun 1414H / 1994M dengan tiga matlamat: (1) mengajar ilmu agama secara bertalaqqi dan menerimanya daripada ahlinya yang bersanad; (2) mentazkiah diri dan memperbaikkan akhlak; dan (3) menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada Allah s.w.t. Selain terkenal sebagai ulama dan da`ie, beliau juga merupakan seorang penyair yang mahir.
Habib Umar bin Hafidz adalah Ulama terkemuka di Hadramaut, Yaman. Madrasahnya Darul Mustafa, telah menghasilkan ribuan kader Mubaligh yang berdakwah di segenap penjuru dunia,.sebagai Ulama dan Mubaligh, tutur katanya lembut dan pengetahuan agamanya luas. Namun sorot matanya tajam dan raut mukanya selalu tampak bercahaya. Dan ketika berceramah, beliau bisa berubah menjadi “singa podium” yang berapi-api. Kalimat demi kalimat meluncur dengan suara lantang dan selalu bernas. Meski begitu, beliau tidak pernah menyinggung golongan atau pihak lain, apalagi menyakiti dengan kata-kata. Beliau selalu menekankan pentingnya kebersihan hati, pengamalan ilmu dan berdakwah di jalan Allah swt. Menurut salah seorang muridnya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Umar tidak pernah stress dan marah kepada murid-muridnya. Teristimewa, Habib Umar tidak mau menunjukkan karomahnya di hadapan banyak orang. Menurutnya, karomah yang paling penting adalah bukan bisa terbang di udara; misalnya. Kalau manusia bisa terbang, apa bedanya dengan burung. Tapi karomah yang paling besar adalah Istiqamah, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Habib Umar lahir di Tarim, Hadramaut, pada hari senin bulan Muharram, 43 tahun yang lalu, dari pasangan Zahra binti Ahmad dan Muhammad bin Hafidz. Sejak berumur sembilan tahun, beliau sudah yatim karena ditinggal ayahnya. Ketika Ayahnya diculik oleh gerombolan komunis dan tidak diketahui jenazahnya. Bakat dan kecerdasan Habib Umar dalam ilmu agama sudah tampak sejak kecil. Beliau pun tumbuh sebagai pemuda yang gemar berburu kepada Ulama terkenal, seperti : • Syekh Muhammad bin Ali bin Syam • Habib Muhammad bin Abu Bakar Al Haddar • Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Setelah banyak menimba ilmu, beliau kembali ke Tarim dan mendirikan pesantren Darul Mustafa, yang murid-murid pertamanya sebagian besar dari Indonesia. Disamping sebagai Da’i, Habib Umar juga penulis yang produktif.
Karya-karyanya tidak sebatas ilmu Fiqih, beliau juga mengarang beberapa kitab tasawuf dan maulid. Kitab yang ditulis antara lain : • Diyaul Lami ( Maulid Nabi Muhammad SAW ) • Dhakhira Musyarofah ( Fiqih ) • Muhtar Ahadits ( Hadits ) • Nurul Iman ( akidah ) • Durul Asas ( Nahwu ) • Khulasah Madani an-Nabawi ( zikir ) • Tsaghafatul Khatib ( pedoman Khutbah )
diambil dari artikel tamanzawiyah Lanjutkan....“Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz” »»
Selasa, 11 September 2012
solawat habib soleh tanggul
اللهم صلى على سيدنا محمدصلاة تغفربهاالذنوب ، وتصلح بهاالقلوب ، وتنطلق بهاالعصوب ، وتلين بهاالصعوب ، و على اله وصحبه ومن اليه منصوب
Ya Allah, limpahkanlah Sholawat (rahmat Mu) kepada Sayidina Muhammad SAW, yang dengan solawat itu Engkau mengampuni berbagai dosa dan meluruskan hati,dan dengan solawat itu pula terurai segala kerumitan, dan berbagai kesukaran akan melunak, (semoga solawat terlimpahkan pula) kepada keluarga beliau SAW, para sahabatnya dan kepada semua yang bernasab kepada beliau. Lanjutkan....“solawat habib soleh tanggul” »»
Selasa, 04 September 2012
Kiai Hamid Pasuruan, Wali yang Rendah Hati
Kiai Hamid dikenal sebagai seorang ulama dan wali yang dekat dengan siapa saja. Ia dicintai dan memberi teladan yang menyejukkan. Ke Pasuruan tidak berziarah ke makam Kiai Hamid rasanya kurang sempurna. Sebab di komplek pemakaman yang terletak di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan itu, terdapat makam Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Syekh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dan beberapa ulama lainnya. Kiai Hamid memang istimewa. Makamnya menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Timur. Sama dengan makam Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Maulana Malik Ibrahim. Keistimewaan itu membuat komplek Masjid Jami’ tak pernah sepi sepanjang siang dan malam, khususnya pada bulan Ramadan. Kiai Hamid lahir pada 1333 H / 1912 M di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, tepatnya di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang, sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota Kecamatan Lasem. Ayahanda beliau, KH Abdullah bin Umar, memberi nama Abdul Mu’thi. Sewaktu kecil Mu’thi biasa dipanggil “Dul”. Tapi seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul”, karena kenakalannya. Mu’thi tumbuh sebagai anak yang lincah, ekstrovert dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH Hasan Abdillah, adik sepupu dan juga iparnya. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang, yang suka mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, walau untuk ukuran anak seorang kiai dipandang luar biasa. Sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya main sepak bola dan layang-layang. Mu’thi bisa dibilang bolamania alias gila bola, dan ayahnya tidak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, belajar ngajinya otomatis kurang teratur, walaupun tidak ditinggalkan sama sekali. Beliau mengaji kepada KH Maksum (ayahanda KH Ali Maksum Yogyakarta) dan KH. Baidlowi (besan KH A Wahab Hasbullah mantan Rais Am Syuriah PBNU) dua pentolan Ulama Lasem. Ketika beranjak remaja, Mu’thi mulai gemar ilmu kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi, “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid, adik sepupunya di Pasuruan. Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian atau setidaknya orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH Muhammad Shiddiq Jember (ayahanda KH. Ahmad Shiddiq, mantan Rais Am Syuriah PBNU), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid. Pada usia 12-13 tahun, Hamid dikirim ke Pondok Kasingan, Rembang guna meredam kenakalannya. Ia tidak lama di pondok ini, satu atau satu setengah tahun, kemudian ia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH Dimyati ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini lahir banyak ulama besar, diantaranya, KH Ali Maksum (mantan Rais Am PBNU) KH. Masduqi (Lasem), KH. Abdul Ghafur (Pasuruan), KH. Harun (Banyuwangi), Prof. Dr. Mu’thi Ali, mantan Menteri Agama dan lain-lain. Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk makan nasi tiwul (nasi yang bahan dasarnya gaplek atau singkong) tidak membuatnya patah arang. Hamid tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang. Setelah 12 tahun belajar di Pondok Tremas. Ia dinikahkan dengan Nafisah, putri pamannya, Syekh Ahmad Qusyairi, yang dikenal sebagai penulis berbagai kitab bahasa Arab. Konon, Kiai Ahmad pernah menerima pesan dari ayahnya KH Muhammad Shiddiq, supaya mengambil cucunya itu sebagai menantu, mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda itu. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah. Sayang, sang kakek tidak sempat menyaksikan pernikahan itu, karena lebih dulu menghadap Ilahi. Namun, rencana perayaan pernikahan itu bubar. Sebab, pada hari yang sudah ditentukan, para undangan yang sudah berkumpul di Masjid Jami’ menunggu lama pengantin pria yang tidak kunjung tiba. Bahkan hingga petang harinya. Akibatnya akad nikah hanya disaksikan oleh kerabat dekat. Selidik punya selidik, keterlambatan terjadi karena rombongan pengantin sering berhenti.“Pengantinnya kuajak mampir ke makam para wali,” kata KH Ali Maksum, ulama besar yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Hidup Prihatin Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Ahmad pindah ke Jember, lalu pindah lagi ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama Istrinya harus berjuang sendiri secara mandiri mengarungi bahtera samudra kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, beliau berusaha apa saja, dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai, sampai menyewa sawah untuk digarap dan berdagang onderdil dokar. Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan, makan nasi dengan tempe panggang atau krupuk sudah menjadi kebiasaan. Terkadang sarung yang sudah usang pun masih dipakai. Tapi Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha. Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan pesantren Salafiyah, meski tinggal di komplek pesantren yang pernah diasuh mertuanya. Tapi di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri, dua orang, yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah, Kiai Hamid juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di Kabupaten Pasuruan, Rejoso, Rangge, dan lain-lain. Pada sekitar 1951, sepeninggal KH Abdullah bin Yasin, yang menjadi pengasuh pondok pesantren Salafiyah, Kiai Hamid dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH Aqib Yasin, adik KH Abdullah, menjadi pengasuh, tapi secara de fakto Kiai Hamid yang memangku pondok, mengurusi segala hal, karena Kiai Aqib yang masih muda tengah menyelesaikan belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari nol dalam membina Pondok Salafiyah, karena pesantren dalam keadaan sepi sewaktu ditinggal KH Abdullah Yasin, yang menerapkan disiplin tinggi. Pondok Pesantren Salafiyah ini didirikan oleh KH Muhammad Yasin bin Rais. Salah satu santrinya yang terkenal adalah KH. Muhammad Dahlan mantan Menteri Agama RI 1968-1972 dan KH Abdullah Ubaid, pendiri gerakan pemuda Anshor, yang kemudian menjadi menantu Kiai Yasin. Walaupun tidak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Gerak perkembangannya memang tidak bisa dibilang cepat, tapi pasti, terus bergerak dan bergerak. Jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-runag pondok yang lahannya sudah tidak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk. Kamar-kamar yang sudah tidak mencukupi untuk menampung para santri, hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Perkembangan fenomenal terjadi justru pada pribadi beliau. Semula yang hanya dipanggil “haji”, lalu diakui sebagai “kiai”. Dan pengakuan masyarakat semakin besar. Tamunya semakin lama semakin membesar. Sinarnya mencorong terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf sekitar 1954. Habib Ja’far adalah wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang juga menjadi guru spritualnya. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas. Hingga akhirnya mencapai taraf – meminjam istilah KH Mustafa Bisri (Gus Mus) – Muttafaq ‘alaih, yakni disepakati semua orang, termasuk di kalangan orang-orang yang selama ini tidak mudah mengakui kewalian seseorang. Seperti halnya para wali sejati, beliau menjadi tiang penyangga masyarakatnya, tidak hanya di Pasuruan, tetapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah saka guru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin, untuk melihat borok-borok diri. Beliau adalah teladan, panutan, beliau dipuja dimana-mana, kemana-mana dikejar orang. Walaupun ia sendiri tidak suka, bahkan marah, jika ada orang yang mengkultuskannya. Namun, juga beliau manusia biasa, yang pasti mengalami kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim. Hari itu saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di dalam rumah di dalam komplek Pondok Pesantren Salafiyah, setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya, karena penyakit jantung akut, beliau menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan tiga orang anak: Nu’man, Nasih dan Idris. Umat pun menangis, gerak hidup di Pasuruan seakan berhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Kota Pasuruan, memenuhi relung-relung masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati ruas-ruas dan gang-gang jalan yang membentang di sekelilingnya. Mereka dalam gerak serentak, mengangkat tangan sambil mengucapkan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat jenazah yang diikuti jemaah oleh jumlah yang luar biasa. Ulama Tawadu’ Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tidak sedikit orang yang merasa tersaingi, terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang, ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu, tidak dengan rekayasa, melainkan dengan perbuatan nyata, dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadu’ itu. “Kalau menghadiri suatu acara beliau, memilih duduk ditempat orang-orang biasa, di belakang bukan di depan. Kiai Hamid selalu ndempis(menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah. Beliau bersikap hormat kepada siapapun, dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya ketika sedang melayani banyak tamu, beliau memberikan perhatian kepada mereka semua, mereka ditanya satu persatu, sehingga tidak ada yang merasa diabaikan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada ilmu, pada ulama, pada orang alim, bahkan pada orang biasa. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Mentri Agama Prof Dr. Mu’thi Ali –yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas. Beliau sangat menghormati ulama dan Habib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, Kiai Hamid sibuk melayaninya. Misalnya ketika Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah bertamu, Kiai Hamid sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap-cakap, sambil memijatinya, padahal tamunya itu usianya jauh lebih muda. Sikap tawadu itu antara lain, yang menjadi rahasia “keberhasilan” Kiai Hamid hingga mencapai tingkatan tinggi di sisi Allah. Karena sikap ini pula beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para Kiai dan ulama tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu Kiai Hamid yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata manusia maupun di sisi Allah SWT. “Barangsiapa bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.” Senantiasa Sabar Rahasia sukses lainnya adalah sifat sabar yang tinggi, dengan pembawaan yang sangat halus sekali. Sebenarnya di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan tempramental. Hanya berkat riadhah (latihan) yang panjang, beliau barhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa.Riadhah telah memberi beliau kekuatan luar biasa untuk mengendalikan amarah. Kiai Hamid dapat menahan amarah ketika didorong seorang santri hingga hampir terjatuh. Ia juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebunnya habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternaknya ludes dipotong. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” katanya suatu saat. Pada saat awal memimpin Pondok Salafiyah, Kiai Hamid sering dimusuhi tetangga. Namun ketika orang itu mempunyai hajat beberapa bulan kemudian, Kiai Hamid sudah menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah tetangga itu. Tentu saja orang itu kaget dan menyesal telah membenci Kiai Hamid yang hatinya bersih. Melalui Riyadah dan Mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau berhasil membersihkan hatinya dari berbagai penyakit, tidak hanya penyakit takabur dan marah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau mampu menghalau rasa iri dan dengki. Bukannya menjadikan kiai lain sebagai pesaing, Kiai Hamid justru mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampean tanya saja kepada Kiai Ghafur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seseorang yang bertanya masalah fikh. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ketempatnya dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau juga tidak segan mengarahkan sejumlah santrinya kepada KH Abdurrahman, yang tinggal di sebelah rumahnya atau Ustadz Sholeh, keponakannya, yang mengasuh pondok pesantren Hidayatus Salafiyah. Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kelebihan ilmu dan pengaruh. Namun ada yang tidak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu menggunjing orang lain, bahkan para kiai yang mempunyai derajat tinggipun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Kiai Hamid menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak menggunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH Ali Maksum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itu, beliau tidak mau ngerasani (menggunjing) orang lain.”
Lanjutkan....“Kiai Hamid Pasuruan, Wali yang Rendah Hati” »»Karomah Habib Sholeh Tanggul
Membicarakan karamah Habib Sholeh tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.
Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah cirri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu.
Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang yang berpakaian serba hitam dan meminta Yik Sholeh untuk menunjukkan rumah habib Sholeh. Karena di sekitar sana tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada, tuan, nama Habib Sholeh, yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu andalah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.
Sejak itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi oraang, mujlai sekedar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Mantan wakil Presiden Adam malik adalah satu dari sekian pejabat yang sering sowan kerumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau, jika Habib Sholeh ke Jakarta, menjemputnya bejibun, melebihi penjemputan Presiden,” ujar KH. Abdillah yang mengenal dengan baik Habib, menggambarkan.
KH.Ahmad Qusyairi bin Shiddiq adalah sahabat karib habib. Dulunya Habib Sholeh sering mengikuti pengajian KH. Ahmad Qusyairi di Tanggul, tetapi setelah tanda-tanda kewalian Habib mulai menampak, ganti KH. Qusyairi yang mengaji kepada Habib.
Menjelang wafat, KH. Qusyairi sowan kepada Habib. Tidak seperti biasa, kala itu sambutan Habib begitu hangat, sampai dipeluk erat-erat. Habib pun mnyembelih seekor kambing khusus menjamu sang teman karib. Disela-sela bercengkrama, Habib mengatakan bahwa itu terakhir kali yang ia lakukan. Ternyata beberapa hari kemudian KH. Qusyairi wafat di kediamannya di Pasuruan.
Tersebutlah seorang jenderal yang konon pernah mendapat hadiah pulpen dari Presiden AS D. Esenhower. Suatu ketika pulpen itu raib saat dibawa ajudannya kepasar (kecopetan). Karuan saja sang ajudan kalang kabut, sehingga disarankan oleh seorang kenalannya agar minta tolong ke Habib Sholeh.
Sampai di sana, Habib menyuruh mencari di Pasar Tanggul. Sekalipun aneh, dituruti saja, dan ternyata pulpen itu tidak ditemukan. Habib menyuruh lagi, lagi-lagi tidak ditemukan. Karena memaksa, Habib masuk kedalam kamarnya, dan tak lama kemudian keluar dengan menjulurkan sebuah Pulpen. “Apa seperti ini pulpen itu? Sang ajudan tertegun, karena ternyata itulah pulpen sang jenderal yang sudah pindah ke genggaman pencopet.
Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menuturkan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara Kaffah. Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa Istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.
Tengok saja komitmen Habib terhadap nilai-nilai keislaman, termasuk keperduliannya terhadap fakir miskin, janda dan anak yatim, menjadi juru damai ketika ada perselisihan. Beliau dikenal karena akhlak mulianya, tidak pernah menyakiti hati orang lain, bahkan berusaha menyenangkan hati mereka, sampai-sampai dikenal tidak pernah permintaan orang. Siapapun yang bertamu akan dijamu sebaik mungkin. Habib Sholeh sering menimba sendiri air sumur untuk mandi dan wudu para tamunya.
Maka buah yang didapat, seperti ketika Habib Ahmad Al-Hamid pernah berkata kepada baliau, kenapa Allah selalu mengabulkan doanya. Habib Sholeh menjawab, “Bagaimana tidak? Sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat-Nya Murka.”
http://www.sufiz.com/jejak-wali/karomah-habib-sholeh-tanggul.html
Senin, 03 September 2012
Al Wirdul Latif karangan Habib Abdulloh bin Alwi Al Haddad
Sabtu, 01 September 2012
Imam Bukhari R.A
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu ‘Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.
Bakar Abu Said juga berkata,” Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya,” Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!”,Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab,” Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.”
Nasj bin Said berkata,” Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa.”
Muhammad bin Yusuf berkata,” Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat.”
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata,” Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,”Darimana kamu wahai pemuda?”, Maka akupun menjawab,” dari penduduk Bukhara.”. Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?,” keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,”Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu.” lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata,” Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu.”
Muhammad bin Ishaq berkata,” Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah.”
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata,” Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai.”
Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya. tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab,” Aku tidak tahu tentang hadits tersebut.” lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi “Tidak tahu.” demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata,” Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya.” lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab,” Saya tidak tahu hadits tersebut.” Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,” Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami’, tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan,” Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha’ (penghulu para ahli fiqih).
Imam Bukhori berkata,” gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur’an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu,” [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail,” Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur’an?’ Beliau menjawab,” Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq” Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata,” Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an.” Maka beliau menjawab,” Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ,” Demi Thur dan demi kitab yang tertulis.” [QS Ath Thur 1-2]
Abdul Wahin bin Adam berkata,” Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya,” Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?.” Beliau menjawab,” Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori.” , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Abul Hasan bin Salim berkata,” Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H.”
Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu.”
dikutip September 20, 2007 oleh 4bu4isyah
Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
Siyar A’lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi