Selasa, 04 September 2012

Kiai Hamid Pasuruan, Wali yang Rendah Hati

Kiai Hamid dikenal sebagai seorang ulama dan wali yang dekat dengan siapa saja. Ia dicintai dan memberi teladan yang menyejukkan. Ke Pasuruan tidak berziarah ke makam Kiai Hamid rasanya kurang sempurna. Sebab di komplek pemakaman yang terletak di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan itu, terdapat makam Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Syekh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dan beberapa ulama lainnya. Kiai Hamid memang istimewa. Makamnya menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Timur. Sama dengan makam Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Maulana Malik Ibrahim. Keistimewaan itu membuat komplek Masjid Jami’ tak pernah sepi sepanjang siang dan malam, khususnya pada bulan Ramadan. Kiai Hamid lahir pada 1333 H / 1912 M di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, tepatnya di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang, sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota Kecamatan Lasem. Ayahanda beliau, KH Abdullah bin Umar, memberi nama Abdul Mu’thi. Sewaktu kecil Mu’thi biasa dipanggil “Dul”. Tapi seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul”, karena kenakalannya. Mu’thi tumbuh sebagai anak yang lincah, ekstrovert dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH Hasan Abdillah, adik sepupu dan juga iparnya. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang, yang suka mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, walau untuk ukuran anak seorang kiai dipandang luar biasa. Sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya main sepak bola dan layang-layang. Mu’thi bisa dibilang bolamania alias gila bola, dan ayahnya tidak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, belajar ngajinya otomatis kurang teratur, walaupun tidak ditinggalkan sama sekali. Beliau mengaji kepada KH Maksum (ayahanda KH Ali Maksum Yogyakarta) dan KH. Baidlowi (besan KH A Wahab Hasbullah mantan Rais Am Syuriah PBNU) dua pentolan Ulama Lasem. Ketika beranjak remaja, Mu’thi mulai gemar ilmu kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi, “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid, adik sepupunya di Pasuruan. Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian atau setidaknya orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH Muhammad Shiddiq Jember (ayahanda KH. Ahmad Shiddiq, mantan Rais Am Syuriah PBNU), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid. Pada usia 12-13 tahun, Hamid dikirim ke Pondok Kasingan, Rembang guna meredam kenakalannya. Ia tidak lama di pondok ini, satu atau satu setengah tahun, kemudian ia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH Dimyati ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini lahir banyak ulama besar, diantaranya, KH Ali Maksum (mantan Rais Am PBNU) KH. Masduqi (Lasem), KH. Abdul Ghafur (Pasuruan), KH. Harun (Banyuwangi), Prof. Dr. Mu’thi Ali, mantan Menteri Agama dan lain-lain. Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk makan nasi tiwul (nasi yang bahan dasarnya gaplek atau singkong) tidak membuatnya patah arang. Hamid tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang. Setelah 12 tahun belajar di Pondok Tremas. Ia dinikahkan dengan Nafisah, putri pamannya, Syekh Ahmad Qusyairi, yang dikenal sebagai penulis berbagai kitab bahasa Arab. Konon, Kiai Ahmad pernah menerima pesan dari ayahnya KH Muhammad Shiddiq, supaya mengambil cucunya itu sebagai menantu, mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda itu. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah. Sayang, sang kakek tidak sempat menyaksikan pernikahan itu, karena lebih dulu menghadap Ilahi. Namun, rencana perayaan pernikahan itu bubar. Sebab, pada hari yang sudah ditentukan, para undangan yang sudah berkumpul di Masjid Jami’ menunggu lama pengantin pria yang tidak kunjung tiba. Bahkan hingga petang harinya. Akibatnya akad nikah hanya disaksikan oleh kerabat dekat. Selidik punya selidik, keterlambatan terjadi karena rombongan pengantin sering berhenti.“Pengantinnya kuajak mampir ke makam para wali,” kata KH Ali Maksum, ulama besar yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Hidup Prihatin Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Ahmad pindah ke Jember, lalu pindah lagi ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama Istrinya harus berjuang sendiri secara mandiri mengarungi bahtera samudra kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, beliau berusaha apa saja, dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai, sampai menyewa sawah untuk digarap dan berdagang onderdil dokar. Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan, makan nasi dengan tempe panggang atau krupuk sudah menjadi kebiasaan. Terkadang sarung yang sudah usang pun masih dipakai. Tapi Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha. Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan pesantren Salafiyah, meski tinggal di komplek pesantren yang pernah diasuh mertuanya. Tapi di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri, dua orang, yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah, Kiai Hamid juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di Kabupaten Pasuruan, Rejoso, Rangge, dan lain-lain. Pada sekitar 1951, sepeninggal KH Abdullah bin Yasin, yang menjadi pengasuh pondok pesantren Salafiyah, Kiai Hamid dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH Aqib Yasin, adik KH Abdullah, menjadi pengasuh, tapi secara de fakto Kiai Hamid yang memangku pondok, mengurusi segala hal, karena Kiai Aqib yang masih muda tengah menyelesaikan belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari nol dalam membina Pondok Salafiyah, karena pesantren dalam keadaan sepi sewaktu ditinggal KH Abdullah Yasin, yang menerapkan disiplin tinggi. Pondok Pesantren Salafiyah ini didirikan oleh KH Muhammad Yasin bin Rais. Salah satu santrinya yang terkenal adalah KH. Muhammad Dahlan mantan Menteri Agama RI 1968-1972 dan KH Abdullah Ubaid, pendiri gerakan pemuda Anshor, yang kemudian menjadi menantu Kiai Yasin. Walaupun tidak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Gerak perkembangannya memang tidak bisa dibilang cepat, tapi pasti, terus bergerak dan bergerak. Jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-runag pondok yang lahannya sudah tidak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk. Kamar-kamar yang sudah tidak mencukupi untuk menampung para santri, hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Perkembangan fenomenal terjadi justru pada pribadi beliau. Semula yang hanya dipanggil “haji”, lalu diakui sebagai “kiai”. Dan pengakuan masyarakat semakin besar. Tamunya semakin lama semakin membesar. Sinarnya mencorong terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf sekitar 1954. Habib Ja’far adalah wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang juga menjadi guru spritualnya. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas. Hingga akhirnya mencapai taraf – meminjam istilah KH Mustafa Bisri (Gus Mus) – Muttafaq ‘alaih, yakni disepakati semua orang, termasuk di kalangan orang-orang yang selama ini tidak mudah mengakui kewalian seseorang. Seperti halnya para wali sejati, beliau menjadi tiang penyangga masyarakatnya, tidak hanya di Pasuruan, tetapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah saka guru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin, untuk melihat borok-borok diri. Beliau adalah teladan, panutan, beliau dipuja dimana-mana, kemana-mana dikejar orang. Walaupun ia sendiri tidak suka, bahkan marah, jika ada orang yang mengkultuskannya. Namun, juga beliau manusia biasa, yang pasti mengalami kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim. Hari itu saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di dalam rumah di dalam komplek Pondok Pesantren Salafiyah, setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya, karena penyakit jantung akut, beliau menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan tiga orang anak: Nu’man, Nasih dan Idris. Umat pun menangis, gerak hidup di Pasuruan seakan berhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Kota Pasuruan, memenuhi relung-relung masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati ruas-ruas dan gang-gang jalan yang membentang di sekelilingnya. Mereka dalam gerak serentak, mengangkat tangan sambil mengucapkan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat jenazah yang diikuti jemaah oleh jumlah yang luar biasa. Ulama Tawadu’ Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tidak sedikit orang yang merasa tersaingi, terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang, ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu, tidak dengan rekayasa, melainkan dengan perbuatan nyata, dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadu’ itu. “Kalau menghadiri suatu acara beliau, memilih duduk ditempat orang-orang biasa, di belakang bukan di depan. Kiai Hamid selalu ndempis(menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah. Beliau bersikap hormat kepada siapapun, dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya ketika sedang melayani banyak tamu, beliau memberikan perhatian kepada mereka semua, mereka ditanya satu persatu, sehingga tidak ada yang merasa diabaikan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada ilmu, pada ulama, pada orang alim, bahkan pada orang biasa. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Mentri Agama Prof Dr. Mu’thi Ali –yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas. Beliau sangat menghormati ulama dan Habib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, Kiai Hamid sibuk melayaninya. Misalnya ketika Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah bertamu, Kiai Hamid sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap-cakap, sambil memijatinya, padahal tamunya itu usianya jauh lebih muda. Sikap tawadu itu antara lain, yang menjadi rahasia “keberhasilan” Kiai Hamid hingga mencapai tingkatan tinggi di sisi Allah. Karena sikap ini pula beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para Kiai dan ulama tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu Kiai Hamid yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata manusia maupun di sisi Allah SWT. “Barangsiapa bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.” Senantiasa Sabar Rahasia sukses lainnya adalah sifat sabar yang tinggi, dengan pembawaan yang sangat halus sekali. Sebenarnya di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan tempramental. Hanya berkat riadhah (latihan) yang panjang, beliau barhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa.Riadhah telah memberi beliau kekuatan luar biasa untuk mengendalikan amarah. Kiai Hamid dapat menahan amarah ketika didorong seorang santri hingga hampir terjatuh. Ia juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebunnya habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternaknya ludes dipotong. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” katanya suatu saat. Pada saat awal memimpin Pondok Salafiyah, Kiai Hamid sering dimusuhi tetangga. Namun ketika orang itu mempunyai hajat beberapa bulan kemudian, Kiai Hamid sudah menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah tetangga itu. Tentu saja orang itu kaget dan menyesal telah membenci Kiai Hamid yang hatinya bersih. Melalui Riyadah dan Mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau berhasil membersihkan hatinya dari berbagai penyakit, tidak hanya penyakit takabur dan marah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau mampu menghalau rasa iri dan dengki. Bukannya menjadikan kiai lain sebagai pesaing, Kiai Hamid justru mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampean tanya saja kepada Kiai Ghafur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seseorang yang bertanya masalah fikh. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ketempatnya dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau juga tidak segan mengarahkan sejumlah santrinya kepada KH Abdurrahman, yang tinggal di sebelah rumahnya atau Ustadz Sholeh, keponakannya, yang mengasuh pondok pesantren Hidayatus Salafiyah. Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kelebihan ilmu dan pengaruh. Namun ada yang tidak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu menggunjing orang lain, bahkan para kiai yang mempunyai derajat tinggipun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Kiai Hamid menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak menggunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH Ali Maksum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itu, beliau tidak mau ngerasani (menggunjing) orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar